Kambing Korban

Seorang teman pernah bercerita kepada saya tentang cara orang tuanya mendidiknya menyambut Eidil Adha. Seperti halnya anak-anak masyarakat Gunung yang lain, teman saya itu diamantkan orang tuanya untuk memelihara calon kambing korban itu sebagai miliknya sendiri. Hangatnya kebanggaan yang jujur dari seorang anak yang tiba-tiba menemukan diri sudah dianggap cukup besar untuk memiliki makhluk hidup, telah lebih dari cukup untuk mengawali sebuah cerita perawatan yang indah. Kambing itu agak gemuk kerana ia dipelihara dengan tekun tidak seperti segerombolan yang lain, tetapi sebagai denak dengan ketulusan putih natural dari seorang anak.

Menariknya, pendidikan paling penting justeru terletak pada hari raya, ketika hubungan penjagaan yang indah antara anak dan si kambing harus berakhir dengan membuaknya darah si kambing di hujung mata pisau. Padahal, kambing itu sudah menjadi yang tersayang, begitu dikenal bahkan seperti diri si gembala kecil itu sendiri. Pernah, ketika seekor kambing terkulai mati, sang gembala hampir turut terkulai sedih. Seakan pisau tukang sembelih memotong leher anak itu sendiri.

Sebahagian orang tentu mengganggap bahawa pendidikan ini agak keterlaluan. Tergamak sekali membesarkan kambing hanya untuk disembelih, lalu untuk membesarkannya, ditugaskan seorang anak kecil pula. Kalaupun keperihaiwanan tidak layak menjadi tarbiyah hati, bagaimana jika si kambing yang sudah kepalang gemuk dan begitu merasa nyaman di samping tuan kecilnya itu memberontak ketika akan disembelih? Ini hanya menambah pedih dan rawan hati si anak.

Pendidikan apakah ini? Lupakan saja. Bukankah baik jika dari awal lagi si gembala kecil disuruh memberi si kambing hanya sisa rumput kering, mengurungnya di tempat gelap, dan meniadakan haknya untuk disayang, kerana akhirnya, bukankah kambing itu akan disembelih juga. Biar kurus kering putus asa dia dan mudah saja dibelit tangan kakinya untuk dibanting ke tanah dan dibuat tak berkutik dalam hitungan detik. Dengan begitu, tidak ada rasa sakit dalam hati si anak, kerana kambing itu tidak menjadi amanat. Dan kambing itu? Tak usah peduli lagi, ia bukan manusia.

Dua alternatif terakhir ini logik juga. Tetapi si anak akan kehilangan wahana untuk berlatih menerima pasangan dan pemilikan. Si anak juga akan kehilangan tempat kematangan hati berkembang. Belajar menerima kedatangan yang tersayang- walaupun seekor kambing-- dan belajar merelakan kehilangan -- hatta dengan cara yang sangat tragis. Ini baru kambing, bagaimana jika yang harus mati adalah sesuatu yang paling disayangi, seperti orang bercinta, atau bahkan diri sendiri?

Yang pasti, jika gemuruh takbir menyapa beranda hati, satu malam saja, dan hangat gulai kambing menghangatkan lenguh tubuh, satu hari saja, dengan sejuk dahi menyapa sejadah, beberapa detik saja bersyukurlah atas ni'mat dan peringatan Allah yang masih demikian indah.

Bayangkan jika Eidil Adha adalah malam neon-neon keras menggantikan liuk lintuk kerdip pelita, riuh rendah suara kanak-kanak dan mercun bertukar hruk pikuk hon dan siren kenderaan dan di celah-celah manusia pagi yang mengalir deras, sendu takbir hanyalah rindu kelmarin yang bertaburan.

Atau bayangkan jika malamnya adalah malam overtime di depan komputer 24 jam , paginya berlari menyerahkan hasil kerja, dan fajar adalah kebingungan mencari gelaran solat berjemaah di tengah masyarakat yang penganut Islamnya hanya satu dua orang. Lalu hangat pagipun bukan hangat gulai ketupat dan pelukan maaf, tetapi hanya semangkuk mi segera plastik tanpa handai taulan.

Tetapi Allah adalah yang MAHA PENGASIH dan bukan suka pilih kasih. Dalam situasi itu, ada kambing yang tetap disembelih, dibahagikan, dan dini'mati dengan kesyukuran.